Friday, February 27, 2009
Arogansi kita
yang mampu membaca
kenapa tiada angin tiada hujan
kau enggan bicara
Aku adalah diam
yang lebih dingin dari beku
Wednesday, February 25, 2009
Jam Istirahat
Waktu hari di tengah kepala
kita bengkalaikan di atas meja kerja
segala data, akal, fisik sekaligus hati
dari rumitnitas yang enggan berhenti
memburu hampir setiap hari
guna melahap sejumput tenaga
racikan rumah makan sekedarnya
Lalu berhamburan ke remang parkiran bawah
manjelma siswa siswa menengah pertama
yang ramai ramai asal kecap kata kata
pemancing berbagai macam bentuk tawa
yang terkadang mengundang tawa pula
Dari mulai taruhan kecil kecilan liga sepak bola,
politik becak yang kehilangan jalan raya,
sampai wacana menggarap tubuh wanita kantoran
yang lalu lalang dengan make up menyolok mata
dan rok sedikit nakal ala metropolitan
Di sana kita terbahak setengah gila
hingga lupa desakan pacar, tuntutan istri,
rongrongan buah hati, tumpukan dokumen,
celaan para atasan dan situasi genting ekonomi.
Melupakan belati di belakang pinggang
pindah lokasi ke nadi tangan
;pewakil benak kita melawan itu semua.
Di sana, kita bebas
mukimkan sejuta gaduh
yang nyaris busuk di dada
campur asap rokok, limbah knalpot,
dan hawa sesak jakarta
ya di sana! di parkiran bawah
kita yang robot, mati!
meski hanya sementara
Tuesday, February 24, 2009
God Bless you, Camerad
dari hati kecilnya yang rindu ibunda
ku larungkan padamu
Doa yang jauh dari sempurna
Bila kelak tiba di senyummu
rangkailah! hingga ia sempurna
menjelma karang pada lukamu
yang seluas samudra
Monday, February 23, 2009
Malam malam!
aku, kau dan setan
Kau tahu perempuan!
setan barulah setan
bila tolol tak mampu ditahan
beralibi hasrat yang gelap mata
Malam ini hanya kita berdua
aku yang hampir tolol
dan kau yang nyaris gelap mata
Friday, February 20, 2009
Thursday, February 19, 2009
Loh Jinawi Indonesia
Belantara rimba terpana
lihat hutan hijau berdandan
berkaca pada biru samudera
tempat nelayan mengail ikan
begitu menawan, begitu sentosa
Di sisir desir sejuk berseri seri
yang melayang hingga pematang
tempat petani menanam padi
berteman bukit gunung menjulang,
celoteh margasatwa dan gurauan ilalang
Tanah airku!
disana sungai membelai ladang
laut, danau, telaga dicumbu hujan
camar bernyayi di atas karang
lagu bersihnya udara kepulauan
tanah suka duka kita
yang lahirkan air mata bahagia,
rumah akhir kita kelak menutup nyawa
Wednesday, February 18, 2009
Kepada Pribumi alam pertiwi
Cemara, Tapir, Harimau,
Ki Tenjo dan lainnya
kalian dimana?
biasanya kalian berseri seri
berdansa dan bernyanyi
lindungi batas peradaban kami
dari segala gangguan
yang mengancam hati
Benarkah kalian di curi HPH
hingga ke akar akarnya
dan di bantai diam diam
sampai sampai terancam punah,
benarkah?
Kalian tahu, di sini sunyi
sunyi sekali
tak ada yang bernyanyi
dan menari nari
seperti hari hari lalu
yang selaras dan asri
Di sini, dimana kami tak kuasa
bendung banjir yang bawa disentri
dan infeksi ke nasib kami,
juga tak kuasa halau kemarau
yang gersangkan ladang hati kami
;Semoga kalian lekas kembali!
Tanah Rinduku
sepanjang damainya kenangan
menyusuri danau adat di ujung utara
yang di jantungnya terbaring pulau
silsilah marga sejak lampau
Inang! aku rindu manortor'
bersama barisan kokoh bukit bukit hijau
dan nasib terpencil hutan sawit kelapa,
pahatan kayu kayu malam tak berlampu
berteman api kecil yang menjilat sumbu
sebelum cemara hitam buka pintu
setelah anak tangga bermain bambu
Pada tuak, pada sangsang
rindu makin menggebu,
melebihi Naga Bonar
yang harapkan si Bujang kembali
sebelum habis di makan cacing peluru
Rindu pula Horaskan tegur sapa
di ‘Tapian na uli, kampung hatuboanku
ranah Ompung Sisingamangaraja
yang kebal segala senjata
kala mengusir bala serigala Eropa
Saturday, February 14, 2009
Bapak dan Gunung Gede
gunung gede biru
seperti suasana hatimu
yang rindu kopi pagi
sentuhan pacar lamamu
Tapi pak, atap gunung gede itu
berselimut awan putih, bersih sekali!
seperti kepulan tulusmu
kehilangan bosan
sajikan segenap perhatian
pada kesehatan pacar sejatimu
yang terganggu di pembaringan
Bapak, sebutan gunung gede
mustahil abadi
bila ia tidak besar
seperti cintamu
yang rajin merangkai lelah
menjadi senyum indah
penambah gairah hidup
pacar sehidup sematimu
Bapak,
kau adalah gunung gede
yang tegar berdiri
dampingi tawa dan air mata
pacar lamamu
pacar sejatimu
pacar sehidup sematimu
kekasih abadimu
hatimu,
ibu ku!
Friday, February 13, 2009
Pingsan
Ribuan lebah terbang
mendengung di telinga
ribuan kunang kunang
berterbangan di mata
pada saat yang sama
:Wajahku cium tanah
Kepada para pelanjut perjuangan
Telah bermakam perduli
di tata cara kalian
“usut tuntas darah para korban
yang terkapar beku di tembus peluru”
Sebab, isi bus kota juga metromini
puluhan jam berdesakkan, berdiri,
haus, lapar di tambah kecewa
tunggu barikade pengeras suara
usai kepulkan ban ban usang
dan mabuk molotov di jalur mereka pulang
Aku menaruh simpati ke dalam relung hati
saksikan segelintir kalian, hei demonstran!
dan orang tua para korban itu
setia, mencari secuil keadilan
di wajah istana pengambil keputusan
meski hanya belatikan sejuta pilu kehilangan
;Hantarkan empati ke pintu nurani
jajaran kursi yang buta, gagu dan tuli
adakah pembaharuan solusi?
adakah, wahai para pelanjut perjuangan
Ibu muda di pinggir peradaban
Perempuan yang berpayung matahari
di antrian panjang pinggir peradaban
sembari timang luka hasil siang malam bercinta
entah, dengan rupiah siapa!
Ia adalah ibu muda berdaster lusuh
yang susui bayinya dengan air mata
Siang ini harusnya ia baptis sang bayi di Gereja
tapi, tubuh lusuh bekas rela semalaman
kerja rodi di ranjang gelisah ladeni liarnya birahi
harus tersikut harga dan tahan dahaga berlama lama
guna tukar rupiah desah malamnya
dengan sembako murah pemerintah
demi sebakul nasib, tanak di meja perjuangannya
demi seputing mewah, gizi sang buah hati
Bu! semoga beras, susu, telur, jelantah dan sayur lesu
yang kau setubuhi dengan keringat antri
dan air mata duri penyayat hatimu itu
dapat pugar sejenak jerit tangis bayi
pembaptis kembalinya malangmu
rupiahkan birahi malam nanti
sendiri, di pinggir peradaban yang tipis nurani
Thursday, February 12, 2009
Tembakau & Hati yang tuli
Menjelang senja tembakauku pasang gaya
pada diam yang sombong menghisapnya
di hadapan perempuan pengoyak janji
habiskan malam bersama
Bibirnya komat kamitkan sejuta alasan
ini, itu, itu, ini, tak jelas seperti mantra
sesekali percikkan air mata mengguyur senyumku
Di batas kebosanan sewaktu memeras sabar
dari senyumku yang basah
tembakau itu asapkan bara di lembayung hari
“hhhmmm… Penghisapku ini sedang tuli
dan kau perempuan,
air matamu terlalu basi berpuisi sendiri
menyingkirlah kami hendak hilang dari sini”
Di antara debu debu langit malam
dan hisapan terakhir tembakau itu
terpuntunglah sesal di sudut hati
yang masih di deru angin emosi
;tinggalkan wanita itu di tepi senja
bersama air mata alasannya, bersama sepi.
Cinta Monyet
Hei, bangku sebelah kiri
singasana perempuan putih
yang genitnya gemar meracau penuh goda
mengapa kau merapat, penat sendiri?
Hei, mug cokelat bertungkai lucu
kahyangan menari bibir tipis bidadari
meneguk canda, rekahkan gurau sesekali
mengapa kau diam, membisu sendiri?
Hei, meja kerja dari kayu wangi
arena damai cerita kerja melawan cerita cinta
ditonton waktu berbuah rindu setengah dada
mengapa kau sunyi, sepi sekali?
Bangku, mug, meja dan aku
sekumpulan kenangan ada kau terbiasa
yang gundah, bertanya pada puisi
mengapa hanya bayangmu
yang tersenyum dan menari hari ini?
Lelucon
Ada anak setan
ragunya maju terdepan
hendak pilih guyon
di monolog kehidupan
Jadi penggangguran, wahh sedikit suram!
bangun selepas mentari tidur sehabis bulan
mimpi salaman dengan penghuni BH hitam
Jadi pekerja kantoran, hhmm tiada bakat!
datang telat pulang tepat
di tengah-tengah lembur atasan menghujat
Jadi Pelarik, ahaha astaga!
jarang baca sedikit bicara
banyakan diam menghisap lupa
Jadi PoliTIKUS, aakkhh apalagi!
sudah ku tulis jarang sama sedikit tadi
terlebih lihat rombongan puisi
masuk mata kanan keluar mata kiri
;Dasar anak setan!
bebaslah, hendak pilih guyon apa
selama tidak ganggu ketertiban
dan jadi lelucon di hadapan TUHAN
Wednesday, February 11, 2009
Siang bolong di kantor Polisi
Siang bolong di kantor Polisi
keringatnya antri
wajahnya pengap hilang seri
tunggu birokrasi kantor polisi
mudahkan izinnya mengemudi
Siang bolong di kantor polisi
resahnya duduk berdiri
mondar mandir kamar mandi
tunggu surat ijin mengemudi
terbit tanpa sekantor basa basi
Siang hari bolong
tukang ojek separuh baya
yang lapar, buta aksara
berletih hati tunggu hasil birokrasi
perihal ijin mengemudi
selang waktu sepersekian detik
sekujur hidupnya pucat pasi
karena kantongnya yang sunyi
tak sanggup ladeni
kantong kantor polisi
Opus sejatiku
kerikil kerikil distorsi
dari seringai kepahitan
ke hati mati
terbunuh kepalsuan
Yang menyungkurkan
kata kata suci
membangkai di selokan
Yang dibuang Tuhan
dan tuhankan kebebasan
Tuesday, February 10, 2009
Korban Populasi
dan populasi hewan
adalah dongeng kenangan
yang kita wariskan
ke anak cucu masa depan
hadapi bencana kehidupan
Analogy
tumbuh berbunga,
semerbak wangi bahagia
dan lugu tak terjamah
Segerombolan lebah
berlomba lomba
menggoda harumnya
dengan segala puji puja
Seekor lalat sampahan
terpana hatinya terbata
kagumi anggun mawar putih itu
dan ingin terbuai
di kelembutan bunganya
Tersirat di benak lalat
enggan menodai
tapi ingin lindungi sarinya
meski takut akan batang
yang berduri
mungkin ini! mungkin itu!
lalat terjebak alam pikiran
maka ia simpan semua
dalam sakitnya diam
;Mawar putih tau dia di perhatikan
Panggilan dataran tinggi
wahai, hamparan dataran tinggi
penyemangat hati dan nyali kami
yang hilang sabar tuk kembali nikmati
belantara negri di atas awan
Panggilmu mendarah daging sudah
jadi rindu kekal lukis tubuhmu
dengan kaki dan keringat sendiri
wahai, hamparan liar tanah subur berbatu
Sebab seperti sudah ribuan tahun lamanya
kami tak lagi nikmati gigil hujan,
bersenggama dengan ilalang matahari,
menjadi saksi bahwa gelap terang
silih berganti saling menenggelamkan
di angkuhnya setapak pegunungan
pertanda kami harus hilang kendali
teriak tertawa tanpa perduli
berbagi rokok dengan bulan bintang
di tenda malam yang berdiri
pelindung kelelahan hati
penghangat jiwa, pembalut luka
dalam lelap Doa berselimut kabut mimpi
yang mencandu jejakkan terima kasih
bertualang cari ketenangan
berdamai dengan kebebasan
tinggalkan ricuhnya polusi peradaban
Catatan kaki
berteman dingin langkahkan kaki
tujuannya ibu kota
yang kejam, tak bersahabat
serba cepat
guna nafkah duniawi
Gelap sepi malam hari
berteman dingin pulangkan kaki
saat semua lelap di belai mimpi
jalanan seolah mati
hati teringat bersyukur
guna nafkah surgawi
Monday, February 9, 2009
Mengais harapan di Bis jalanan
Tertawa segala debu
di bis dan jalanan
saksikan kita sindir hari
dan waktu tidur penumpang
dengan permainan gitar
yang serak bernyanyi
mengais harapan
lewat karya bang Iwan
penghibur anda sekalian
; Hanya delapan ribu seharian
yang kita bagi rata waktu pulang!
Mahkota yang terluka
aku bertanya padamu atas nama maaf,
Jauh dalam nanar yang berlinang rahasia
kau ciptakan samudera dari sepasang mata
bisakah kau hentikan, Tuhan hentikanlah
aku tidak sanggup seberangi luas laranya
yang telanjang pilu kehilangan mahkota
ulah kecup di kening, bibir, dada, paha rayuan buaya
sepah dibuang dari ranjang karena usang
pendam kecewa dengan luka lebar menganga
"Bedebah itu sudah pergi meninggalkanmu"
Hanya itu yang bisa kurenungkan di harumu
usai kau palu ranjau paku pada harapku
dongeng penjara desahmu di malam gairah
yang harusnya terkunci hingga pelaminan suci
Pergilah merantau waktu lalu jika itu maumu
jangan pernah merasa terusir, terabaikan, terlupakan
kau adalah kehormatan, kau adalah berharga
kembalilah pulang ku beri kau sekuntum harapan
;Lindungi dia yang gamang menatap masa depan
Aku berdoa untukmu atas nama Tuhan.
Rindu
dalam asbak gosong
sisa senandung asa
lamunkan tentangmu
dan dawai sumbang
senar tua gitar bolong
teman dendang rokok
asapkan bayangmu
Salah siapa?
Kemana pergi
kicauan merdu pagi hari
punah, hilang
di usir raung kendaraan
kemana pergi
lambaian syahdu pepohon hijau
tumbang, hilang
di tebang gedung pencakar nasib
Tak ada lagi hawa sejuk
yang rimbun damaikan dada
tak ada lagi sapa mesra
dari para penghuni rimba
Hanya kecewa, polusi,
cerita lara, dan bencana
yang tersedia
untuk anak cucu dan kita
;ini ulah siapa, ini dosa siapa?
Saturday, February 7, 2009
Parade Luka
banggaku pernah bersama
berusaha
jadi perban segala lukamu
ramaikan sepi yang siksamu
Karena tersakiti
aku yang kau cambuk
karena di kasari
aku yang kau tindas
karena terbuang
aku yang kau sia-sia kan
karena ajal
aku yang kau bunuh
Biarlah!
kan ku teguk semua
pahit getir
murninya bisamu
hingga mabuk
muntah dan terkapar
di dasar Jurang ketakutan
demi rentang kembali
sayap patah semangatmu
di mana ceria
pernah singgah
menetap
tertawa
Terbanglah
sebarkan cintamu
Mungkin itu
perban lukaku
Hati biasa
bernuansa pelangi
seketika takut datang
ia terpucat pasi
Waktu itu hatiku berseri
terpesona kata
seketika sesak, lemas
terhimpit ragu
tak percaya
Kemarin dulu hatiku putih
bagai awan di hari cerah
seketika hitam
lebih gelap dari malam kelam
Kemarin hatiku merona tenang
bagai di manja bintang bintang
seketika bergolak hebat
di terjang ombak
lautan bimbang
“Apa kabar hari Ini hati
masih sanggupkah berubah
walau di pecundangi lelah
mari berdansa kembali”
Friday, February 6, 2009
Thursday, February 5, 2009
Sobat
Sobat, masih ingatkah kau
saat saat kita mendaki
terjalnya gunung kehidupan
walau kering semangat,
kita basahkan kembali
dengan tawa dan kata kata
Sobat masih ingatkah kau
saat saat kita saling mencaci
karena aku, jatuh ke jurang mimpi
sampai sampai kau layangkan tinju
berupa makian sinis
“Sadarlah, impian bukan kenyataan”
dengan sedikit benci yang dengki di hati
tapi, tetap saja kita tidak kaku
bahkan lebih saling bahu membahu
Sobat, sekarang kau di mana dan aku disini
kelak atau renta kita mungkin jumpa
mungkin pula tidak
bila ya, aku kan ajakmu mabuk nostalgila
dengan bangga di dada
karena bukan kebetulan kita pernah bersama
dan bukan karena alkohol atau ganja kita tertawa
Bila tidak,
kuangkat gelas penuh doa
tinggi tinggi ke angkasa
untukmu yang melinting masa depan
dimanapun rimbanya
Mengenangnya
aku pelukan dengan sepi
rasakan embun waktu
basahi rinduku padanya
(Mawar putihku)
yang hanyut oleh mimpi
ke sungai tak berhati
tempatku biasa berkata
"Semoga Tuhan memberkatimu
di manapun kau sedang berlari
membawa air mata
dalam kantung rela
pada segala misteri rasa
Wanita yang bertarung air mata
perlahan menjulang
menjadi tebing batu
di jalan hidupnya
"Karena semua akan baik baik saja"
Wednesday, February 4, 2009
Akulah Suram (Black Metal)
Maniac jahat melanda
tanah percaya yang ber-Tuhan
tujuan, hapus terang manusia
binasakan lemah, total hampa
Akulah perang, akulah sakit
akulah ganjil pembantai suci
akulah darah air mata
akulah duka, akulah dusta
Persetan semua toleransi norma
lepaskan laskar pemakan bangkai
yang ludahi kehadiran Mulia
dan sapu bersih
sisa carnaval jasad munafik
Akulah haram, akulah salah
akulah kafir bersanding fatal
akulah cemburu, akulah siksa
akulah yang terlarang Surga
Dosa pahala
parodi busuk dunia fana
dosa pahala
tipu daya kaum Agama
Akulah badai kosmik anti berkah
akulah takut di malam suram
akulah tanduk kokoh benci abadi
akulah hitam panasnya api neraka
Petualang
pada masa jelajah lalu
yang bebas lepas
tanpa beban
melangkah laksana terbang
dari desa ke gunung
dari sungai ke hutan
berteduh bulan bintang
tertawakan hari depan
Arlen II (Emosiku)
yang pasrah (dan) berserah ini
tepis segala sesal, tepis segala rindu
terhadap kelucuanmu
tapi, andai ku bisa
kan kuhujat belati “FUCK”
pada karat tak berjiwa,
yang guratkan kenyataan
bahwa kau telah tiada.
Arlen (si bungsu yang berlalu)
masih mengalir air mata keluarga
terngiang lugunya bercak darahmu
mengering di lintasan kereta
tempat mu lepaskankan nyawa
tergilas berton ton karat baja
Secepat kilatkah maut menjemputmu?
Aku tahu yang kau cari di sana
adalah mainan bocah bocah
yang tak punya mainan sepulang sekolah
Kau nikmatikah mainan itu
sebelum nyawamu berlalu?
Bungsu…
sekarang, takkan ada lagi
yang ganggu candamu
bermain, tertawa di kerajaan surga
Maafkan kami yang acuhkanmu
maafkan kami yang tak mampu
hadirkan mainan kehadapanmu
maafkan kami yang merindumu
di tiap tetes air mata doa
yang basahi pusara cenderung layumu
Sampai jumpa raung kenangan!
Bis kota jurusan Bekasi - Jakarta
dan jurusan ke mana saja
yang tiap hari jejalkan
hitam jalanan dengan raungan
Telah begitu lama kita bersama
entah kapan pertama jumpa
sampai sampai aku tak rela
tinggalkan kenangan tentang kita
begitu saja tanpa hiasan kata kata
Bis tua yang meraung di jalanan
tetaplah berlari kejar setoran
walau melibas marka debu
seperti odong-odong di perkampungan
dan sombonglah menyalip waktu
bantu tumpukan keringat
yang berdiri dan duduk
serta serba terburu buru
Layaknya aku dahulu
Hei kau, yang murah, meriah, muntah,
berkuda besi aku sekarang Pahlawan
sampai jumpa di lain kesempatan
Monday, February 2, 2009
Perempuan muda dengan rahasia luka
setiap malam ia terjaga berteman kecewa,
sedih, cemas, bingung dan tak percaya
berbaur jadi satu dalam batin yang begitu pedih terluka
Terluka karena mimpi hati merajut bahagianya
di buang janji janji manis seperti sampah yang nista
setelah puas nikmati keluguan tubuhnya
di atas buaian yang mampu membuat bulan tersipu
Setiap hari kusimak rahasia batinnya
yang menyayat hati, ya menyayat hati
dimana ia seorang diri tertatih tatih,
goyah, coba berjalan di atas sesaknya kenyataan
bertopeng tawa dan cerita ceria sehari hari
Hei, perempuan muda yang mengusap dada
dengan air mata mimpi dan harapan
yang hancur di setubuhi janji janji sepi
tegarlah, tertawa dan bernyanyilah
rahasiamu aman terkunci di rahasiaku
yang selamanya bidadarikan kau di hati.