Friday, January 30, 2009
Apa yang jantan dari Perang?
kepal keyakinan sebagai senjata di tangan
Melawan tiran yang melecehkan kebebasan
melawan penindas yang aniaya keadilan
Tapi, niat itu ku padamkan
sebab hanya horor berdarah
yang perang sejarahkan
seperti bau anyir perempuan,
calon calon masa depan,
ternak dan tanaman
berantakan di puing jalan
demikian pula rumah sakit,
bangunan yatim piatu
dan rumah rumah ibadah
porak poranda di bombardir
alasan alasan tak masuk akal
;keyakinanku kini, adalah puisiku
Friday, January 23, 2009
Puisi benci
atas komandomu
aku berangkat bela bangsa
tapi, ada satu yang kupinta
jika nanti aku mati di medan laga
tolong, kubur jasadku
dengan posisi wajah cium tanah
dan larikkan kata di nisanku
"Sebaiknya kalian jilat ini pantat
dengan hatimu yang penuh muslihat"
sebagai tanda hujat
pada perangmu yang keparat.
Balas jasa kelas teri
Emak, Bapak,
zaman semakin gila
nilai beli makin tinggi
aspirasi berubah anarki
tetap kalian tak bersuara
Emak, Bapak
zaman semakin tega
Segenap hati ku bekerja,
di perbudak dunia fana
tetap tak ada harga
Emak, Bapak tercinta
selimuti aku dengan tulus Doa
meski harus bersimbah Darah
aku pasti balas jasa
ini, baru hanya daster
baru hanya celana
kristal malu keringatku
tolong kenakan yah!
Aneze
Aku bukan pujangga, bukan pula pujanggi
aku bukan penyair, penyiar tentu tidak
aku bukan seniman, apalagi sastrawan
aku tidak gila, meski “kebanyakan” tertawa
Aku hanya manusia biasa
pemuntah isi kepala,
Pengembara berteman khayal
yang bebas bersulang kata
walau seringkali lupa maksudnya
Semua jadi inspirasi
sepi di ramai kota,
ramai di sepi desa,
basa-basi liar sepaham tinggi
itu saja! cukup rasanya
sudah terlalu merah mata,
terlalu berat kepala
gontai, lapar, dahaga pula
mmm maksud tulisan ini apa ya?
ahh sial, aku lupa!!
Upacara si bendera
Sudah lama dia kibar di sana
pekiknya bersemangat luar biasa
“Negri kita adalah negri Merdeka
sejak dahulu tahun 45, bahkan sebelumnya”
Setiap hari meski sepi yang perduli
hanya kumpulan wajah wajah lugu
kostum putih merah bertopi
tiap senin pagi angkat tangan berdiri
menghalau sinar mentari
Tetap ia kibarkan semangatnya
kadang menyala nyala percikkan bara
tapi sebatas hisapan jempol belaka
anggapan lalu lalang penghuni negara
yang terlalu fokus jadi pahlawan kantong pribadi
“Setidaknya baraku tetap nyala
di sanubari paling muda
aku tak butuh orang sok tua, apalagi renta
jalan pikirannya terutama
lebih baik kalian mati saja”
;Katanya!! seraya kibarkan pekiknya di udara
Comerade
Pemilik sudut pandang
hidup dengan syair sebagai ladang
ialah tak beruang
lebih nikmat banting tulang
di ladang maju atau berkembang
petik puisi di waktu luang
Awal bulan ada pemasukan
bukan sekedar bulan bulanan
Propaganda
Genjer genjer yang berkumandang
di sosialisasikan pertanda perang
melawan kekuasaan, melawan yang di Esa kan
hingga kini adalah karya terlarang
dalam lubang sejarah
kudeta berdarah
palu arit bersilang
tanpa sidang
di vonis dalang
dan pembangkang
turun temurun harga diri terasingkan
Emak
Adalah matahari
yang sebelum hari terang
sudah benderang
menyinari kediaman itu
dengan berdendang
Mengajak segala jejak perjalanan
yang melekat dan carut marut
di tiap ruang sepatu mu
untuk turun perlahan
berdansa bersama kopi hitam
dalam dendang suara hatinya
yang berirama riang
sebab mendapatkan oleh oleh
rupa mu yang lama tak jumpa
sedang asyik baca liur
tatkala masih lelap di tempat tidur.
Nyolong ide dari “Pulang ke Rumah” nye Ruang Kosong
Pegawai kelas sendal jepit
Ku hitung harga keringatku
yang menumpuk di kemeja kusut
kala langit mulai jingga
usai seharian bertarung dengan data
aakkhh! payahh!
hanya seharga nasi putih,
sayur bayam dan ikan kurus kering
yang rasanya serupa rasa keringat itu
Pengangguran
Sepenggal ngeri dari ibu pertiwi
yang harga dirinya
di gusur nurani menghamba
para pemimpin yang sibuk
ongkang ongkang hati di senayan
Acuhkan yang selesai makan bangku pendidikan
padahal semakin menggunung di jalanan
berwajah mendung tanpa penghasilan,
tanpa kuasa balas keringat dan air mata
yang kering kerontang biayai mereka
Tak jauh beda yang berhenti di tengah jalan
makan bangku sekolahan
;Hanya sibuk mencari kesibukan
Hasil beli mimpi
Subur tubuhmu,
tak sesubur nasibmu
yang legam, beku
dalam kotak persegi
usai membeli mimpi
di ujung tikaman
serbuk-serbuk belati
berulang kali, bahkan lebih
Bawa kau berkelana
bias, tanpa raga
mencari sisa hati
di jalan yang kau pilih
sendiri, panjang dan sunyi
;Selamat jalan kawan
Ciuman pertama
Seperti menghisap madunya cerutu
Berawal jantung gemetar
karena wajah celana mekar
lalu rancu menghilang
rindu berulang kali datang
Setia yang rancu
Setia padanya di hatimu
ku curi lewat puisi
tentang halus kulitmu
sentuhku pagi pagi
hangatnya, sapa seluruh raga
dengan suara mungil
lucu, manja, wangi pula
serupa aroma mawar
yang kutanam
di taman hatimu
dan mekar tiada sengaja
Setia padanya di hatimu
yang kucuri lewat puisi
membuat pipimu
sewarna mawar itu
dan senyum yang manisnya
tinggal di lidahku, tersipu
Hari sudah malam
setiamu di jemput hatinya
usai kau ajukan permintaan
agar esok ku curi lagi setia itu
Pembunuh tersembunyi
Senapan runduk (Rifle)
di topang nyali berhari hari
kamuflase berinfiltrasi
kasat mata menipu sunyi
Di atasnya
teleskop tiarap
menghitung akurasi
menembus teliti
Berjarak 2.430 meter
lesakan satu peluru
empat detik berlalu
nobatkan perwira tinggi
pangkat Anumerta
Tuan Pasuruan yang kaya Zakat!
Tuan Pasuruan yang kaya zakat!
kami adalah nasib bodoh
yang rela antri terinjak matahari
di lapangan pahala anda
Tuan Pasuruan yang kaya zakat!
Bagi kami jelata tiga puluh ribu di bulan puasa
sama saja tiga puluh kali sahur dan buka
Tuan pasuruan yang kaya zakat!
terima kasih atas perhatiannya
dalam bentuk tiga puluh ribu
yang tak pernah sempat kami terima
Semoga kelak upahmu besar di Surga
kampung baru kami Lebaran ini
Mati adalah kehormatan
menggilas Persia laskar tirani
hingga titik darah penghabisan
di benteng Thermopylae Yunani
Deathly Metal
Malam kelam punah bulan
anjing anjing lolongkan syair
tentang sisi suram dari benci
provokatif, anti pencipta
dari hati busuk yang terluka
dan jiwa yang pendam neraka,
tanpa sadar membentak hampa,
menggoyang kasar
adrenalin yang bersimbah darah
di patahkan liarnya gutural
yang rendah, keras, ganas,
Telinga manusia bernanah
terpanah nada distorsi
enam kaki bawah tanah
dengan existensi
selamanya sekarat
tak kunjung wafat
Kepada Bung!
Bung! di Negeri kita ini
Demokrasi tak lagi berkaki
Habis di gerogoti (rekayasa pencitraan)
para pengerat bertaring slogan
yang sibuk mengais dukungan
di comberan iklan
Bung! mereka mereka itu
kaki tangan wajah wajah lama
yang mati nurani,
dan berani sekali
selewengkan jerih sawah kita
ke sarang uang pribadi
lalu, diam diam jejalkan komisi
ke mulut pemegang bukti
tedeng aling aling kebal jeruji
Hey bung!
kita dan mereka sebangsa
sesama manusia pula
Bilamana mereka tetap membinatang
kita harus siap jadi pawang
Devils
yang pernah di tampilkan
para penguasa neraka
adalah, meyakinkan dunia
mereka tidak pernah ada
Selamat Natal
Tadi malam tubuh Gereja itu berkhotbah padaku
Natal itu bukan sepatu, celana dan baju baru,
Natal itu bukan pohon terang dengan hiasan cemerlang,
Natal itu bukan Santa Clause yang beri hadiah sambil tertawa malas,
Natal itu bukan pesta kue kue dan minuman beraneka rasa,
Natal itu adalah harinya jiwa kita rayakan kemenangan
karena maut sudah dengan telak terkalahkan.
Khotbah si Gereja di berkati serius oleh dentang loncengnya
khotbahmu kurang kuat! bunyinya, kemudian bersabda
Bahwa kegelapan sudah sangat kelam tutupi bumi,
yang mampu teranginya adalah,
seorang cahaya mungil yang terbit dari rahim dara.
Bahwa bau amis dosa begitu menyengat di relung hidung kita
dan yang mampu lenyapkannya adalah,
aroma mukjizat dan pengharapan dari dalam palungan
berselimut lampin di kandang binatang hina.
Aku ternganga mendengar mereka, kemudian angkat bicara
;ya, kalian tak ada yang salah atau lemah,
sedikit tambahan saja dari saya
yang tersesat terlampau lama
bahwa Natal adalah Cinta kasih abadi
yang menjelma anak manusia.
Thursday, January 22, 2009
Cerita Luka
tiap malam adalah air mata
mimpinya telah mati
dibunuh bujuk rayu
yang mampu membuat bulan tersipu
Harapan, berdarah ditiduri janji
masa depan hilang di atas ranjang
kemudian di tinggal pergi
seolah sepah yang tak lagi berarti
Setiap hari kulihat matanya
pancarkan usaha berdiri
di atas sesaknya kenyataan
yang menyayat hati
Hampir setiap hari
hanya matanya di mataku
hingga tanpa sadar
telah bidadarikan dia di hati
Tuesday, January 20, 2009
Berpapasan
waktu kita papasan mata
tapi, sedikit senyum itu
membuat hati ini
cengengesan sendiri
Monday, January 19, 2009
Lelah
banyak pikiran
hidupku resah
banyak sindiran
Hidupku payah
merokok terus
hidupku goyah
mabuk terus
Hidupku sepi
lupa romansa
hidupku sunyi
lupa berdoa
Terkadang, mati
adalah terima kasih
Pantai kecil
Aku, pantai kecil
tempatmu sandarkan hati,
bersihkan luka,
istirahatkan air mata
setelah lelah
terjang badai asmara
yang sematkan duka
Lalu kau kembali
layarkan hati
arungi lautan cinta
tinggalkan pilu
kenang singgahmu
yang pasang harap
kau sandar lagi
di pantai kecil ini
;meski (se)sekali
Tetap tersesat di jalur Metal
Aku yang berhasrat
dosa, jalan hidup berubah
biadab adalah aliran darah
isi kepala ayat ayat keparat
bersimpangan dengan semua
yang hendak bentuk dunia
tanpa selingan dan bersahabat
Sana, lakukan saja!
tanpa aku, pewabah mengecewakan
yang selamanya sesat
martir di paham kebebasan
Kita adalah Indonesia
bahu membahu wujudkan mimpi
“kita adalah tuan di tanah sendiri”
mari, pantang asa berhenti
meski sampai detik ini
tidak satupun petinggi
tanam kesan berarti di hati
Friday, January 16, 2009
Ibu dan doanya
dari mulai beres beres luka yang berserakan dalam rumah,
seduh kopi bapak dengan lagu rohani dan matahari,
jemput sarapan dari penjual lontong pagi di pinggir kali,
kemudian pijat dua sampai tiga keranjang isi pakaian
agar kelak nyaman bertengger dibadan.
Sebelum siang berdiri (di atas kepala)
celoteh bapak dan keringat pengap rokoknya
kau racik jadi cinta untuk lahapan sekeluarga
yang liar menyantapnya seperti kumpulan serigala
tak dapat mangsa tiga bulan lamanya
Menjelang senja, piring-piring kotor bekas lahapan itu
kau sucikan dengan seember air mata
pengkambuh encok, batuk, pusing, meriang
yang kau sembunyikan di balik hangatnya senyuman
Emak, hari sudah gelap, dingin dan tiada berbulan
saatnya Amin kau ucapkan dan selimuti kambuhan itu
dengan doa kami yang tak kan mampu tandingi doamu.
Sepucuk Puisi untuk orang tua
Selamat subuh emak! bersama puisi banal ini kuselipkan sejumlah resah. yang semalam membuat lukaku terendam air garam, sebab kau diam seribu kata tapi hatimu alirkan dua sungai kecil lewat matanya, sewaktu bapak berderita tentang ekonomi yang semakin menghimpit nasib kita. sejumlah resah itu ialah keringat ku, tukarkan mereka dengan empat sehat ya mak! dan yang ke sempurna ganti petai saja, kesukaan aku dan bapak. oh ya, mereka juga sanggup hapus debu yang datang lewat tagihan listrik, air, telepon dan iuran rukun tetangga meski hanya bulan ini saja.
Selamat subuh bapak! bersama puisi banal ini kuselipkan sejumlah resah. yang semalam perlahan menggores lukaku, saat kau berkehendak menyerah pada kerasnya ayunan gada keadaan yang remukkan semangat berusaha di dadamu. sejumlah resah itu ialah keringatku, kiranya dapat menambal atap nasib kita yang bolong bolong di tusuk cuaca, dan mengganti organ organ tua di tubuh angkotmu, agar ia kembali berseri mengais rejeki di trayeknya yang sepi. oh ya! mereka juga mampu menjadi asap setia temani semangatmu meski bukan bungkusan seperti biasa ada.
Nah, emak, bapak! semoga puisiku yang maknanya seperti nasib di rumah kita dan selipan sejumlah keringat resahku bisa berguna. kita tak mungkin minta bantuan abang yang sedang berjuang untuk keluarga kecilnya berkembang. terlebih kita harus ceburkan diri ke dalam kubangan hutang, Pantang.
Bapak! Doa bekas dalam gelas malammu ku habiskan ya, agar aku tetap terjaga berkendara ke mahajakarta dan jauh dari celaka, terima kasih!
Sebaiknya aku pergi, matahari sudah hampir berdiri, dia akan bertugas lagi serupa aku yang harus kembali di caci maki dan akhir bulan menjelma sejumlah resah yang kalian anggap rezeki.
salam Anes.
Tak kunjung puas
buah dari berjuta kenang
tiada puas tiada senang
seperti baca sajak lain pengarang
Mudah terkata, sulit terlaksana
juga sayu hati tiada gairah
rintangan seperti badai pasti manghantam
pantang lemah haram diri menyerah
Thursday, January 15, 2009
Dialog malam
“Yang kutatap bening matanya, bukan kerling dadanya” jawabku pada kuda besi yang bingung bertanya “tuan, mengapa setelah berbincang dengan bibirnya ada yang mengeras di atas pelanaku, apa saat perbincangan dalam waktu yang terus berlompatan hasrat anda menatap dadanya?”
“Yang kupeluk panas air matanya, bukan panas auratnya” jawabku pada kuda besi yang heran bertanya “tuan, mengapa setelah mengekalkan kenangan ada yang mengeras di atas pelanaku, apa kala berpelukan nafsu anda terbakar oleh auratnya?”
“Sudahlah, tugasmu hanya mengantarku kemana ku suka, bukan bertanya seputar getar jiwa manusia, seharusnya kau sadar diri kau kan besi” ujarku padanya yang melaju di heningnya aspal malam. “ah tuan, saya kan hanya sekedar ingin tahu, mengapa manusia gemar meneguk bergelas gelas birahi?” tanggapnya.
“Mengapa tiba tiba birahi, pikiranmu yang sedari tadi melemparkan perihal seperti itu! untung saja aku tak bermaksud menikmati gravitasi sembari melerai luka lukanya, bisa bisa kau bertanya tuan, kita tidak pulang?” tangkisku.
Lihai
Wednesday, January 14, 2009
Kelam
cacat harga diri
isi hati
total benci
tak kenal surga,
tak rasa bahagia
maka, cinta tak' nyata
Kini, tinggal sepenggal
waktu ku melata
di bumi mimpi
tak perlu belasungkawa
dan iringan air mata
hantar bakar jasad ini
ke siksa Neraka
Tuesday, January 13, 2009
Solidaritas dengkulmu!
banyak nyawa membumbung
di atas reruntuhan kota
seperti asap pekat penderitaan
tutupi langit siang dan malam
dan kabarnya di Palestina
banyak sipil menjerit
kehilangan tawa,
kehilangan merdeka
di kubur artileri tentara
;Tapi, kenapa di negri ini
banyak yang unjuk gigi di televisi, yah?
Monday, January 12, 2009
Aku yang teralienasi
tinggi, tinggi sekali
dengan mata berapi api,
imanjinasi menari nari
dalam hati yang sepi,
sampai hilang perduli
seperti punya dunia sendiri
;kau bilang "merusak diri"
Aku paham sekali
mengapa kau lari
siapalah yang sudi
berteman dengan perusak diri
apalagi titipkan hati
kau bukan yang pertama
sudah milyaran lebih
perempuan yang lari
tak jadi taruh hati
aku tak pernah terbiasa tapi
nah, sekarang kau pergi
lari bersama mimpi
;Aku melayang sendiri.
Friday, January 9, 2009
Dendam bawa sengsara
di pagar rumah mewah
terpicu kata kata hina si tuan rumah
"Dasar mesum, orang udik,
sudah melarat malah berulah
kelak besar jadi apa kalian, sampah!"
sebab tak sengaja dapati istrinya
sedang asyik merias diri,
telanjang, sambil bernyanyi
selesai mandi sore hari
Dendam itu merayu kita
jual mabuk di pinggir peradaban
cara cepat dapatkan kembali harga diri
yang lenyap tergusur hinaan si tuan rumah.
paksa kita bengkalaikan cita cita,
kasih sayang dan perempuan
dalam bilik pengap berterali pesing.
Sobat, sudah lama kulepas dendam itu
kini ku tabur kecewa dan air mata
di atas tanah kubur si tuan rumah
sementara kau lari dari buruan polisi
bawa cemas, entah dimana sembunyi
setelah benam dendammu bertubi tubi,
ke tubuh tuan itu sampai ia mati.
;Selamat berlari sobat!
Thursday, January 8, 2009
Wednesday, January 7, 2009
Zaman bergantian (Mimpiku)
pertanda sesaat lagi
suatu zaman hendak pergi
bawa air mata nestapa
cerita lampau mimpiku
yang mati tertikam sepi,
Di malam tepi zaman ini
ada bekal terselip didada
dari kata hati orang tua
yang menjelma tameng
dari seribu harimau taring pedang
pelindung resah mimpiku
masuki misteri zaman baru
yang pasti penuh lika liku.